Smartphone Menurunkan Kapasitas Kognitif Otak
Seberapa seringkah Anda mengecek smartphone-mu?
Setiap 30 menit sekali? Setiap 15 menit sekali?
Atau bahkan setiap 5 menit sekali? Hanya untuk sekedar melihat adakah
notifikasi yang masuk atau snapgram orang yang kita follow. Seakan-seakan kita
akan ketinggalan informasi tentang mereka-mereka yang memposting kegiatannya di
media sosial. Tapi Anda tidaklah sendirian, kebanyakan masyarakat kita pernah
melakukan hal tersebut. Atau bahkan sudah menjadi kebiasaan mereka? It’s okay, saya juga melakukannya, saya
tidak akan menyalahkan Anda.
Seperti yang dikutip dari jurnal chichago, pemilik
smartphone rata-rata mengecek hp-nya 85 kali sehari. Ada yang mengatakan bahwa
ketika berpergian mending ketinggalan dompet daripada hp-nya. 90% melaporkan
mereka tidak pernah keluar rumah tanpa hp-nya. Meskipun
smartphone seperti perangkat kecil sumber informasi (jika Anda mampu
memanfaatkannya), tapi juga ada efek negatifnya. Cukup mengganggu. Misalnya,
Anda sedang belajar dengan serius, membaca buku terjemahan Biology Campbell
yang bahasanya agak rumit dipahami, lalu handphone Anda taruh di meja tempat
Anda belajar. Walaupun Anda sedang tidak mengoperasikannya, ketika lampu
notifikasi handphone Anda berkedip, pasti secara tidak sadar mata Anda sekilas
melihatnya. Dan ketika itulah muncul pikiran pada otak Anda untuk mengecek
notifikasi apakah itu. Seketika fokus anda hilang terhadap buku yang Anda baca.
Bayangkan fokus yang Anda bangun dari awal akan tiba-tiba musnah gara-gara
lampu notifikasi tadi. Lampu notifikasi memang di desain dengan warna yang
cerah dan kontras supaya Anda tertarik untuk mengeceknya.
Berikut adalah salah satu penelitian yang di
publikasikan dalam Journal of the Association for Consumer Research (JACR) https://www.journals.uchicago.edu/doi/full/10.1086/691462
Pada penelitian tersebut dilakukan
dua eksperimen. Hasil dari dua
eksperimen menunjukan bahwa bahkan ketika seseorang berhasil membangun
perhatian (fokus) yang berkelanjutan atau terus-menerus—seperti saat menghindari godaan untuk mengecek hp
mereka—kehadirannya saja dari smartphone dapat mengurangi kapasitas kognitif
yang tersedia. Bahkan, kognitif yang dikorbankan mencapai tingkat tertinggi
untuk yang sangat memiliki ketergantungan pada smartphone.
Walaupun mereka (smartphone) dapat
memberikan kesejahteraan bagi penggunanya—seperti kemudahan memesan makanan
lewat aplikasi, dll—tetapi karena smartphone ini selalu hadir di samping Anda
maka memungkinkan menimbulkan masalah pada kognitif otak. Semacam keberadaan
smartphone mengisi sebagian otak kita. Maksudnya menempati sebagian space pikiran kita, inilah yang dimaksud
dengan penurunan kerja otak akibat keberadaan smartphone. Bayangkan otak
sebagai sebuah kotak kosong. Lalu saya misalkan “keberadaan smartphone” sebagai
“benda X”. Sekarang benda X saya masukkan ke kotak kosong. Benda X jelas
menempati suatu ruang (space) pada
kotak, bukan? Dan jelas kotak yang belum terisi benda X tadi dapat memuat lebih
banyak benda lain—tugas lain yang dikerjakan otak—daripada yang sudah terisi
benda X. Mungkin analogi tadi kurang dapat dipahami. Tetapi itulah pendekatan
yang mungkin dapat mengilustrasikan apa yang dimaksud dari “menempati sebagian
space pada otak”. Contoh lainnya adalah berikut ini. Pernahkah Anda mendengar
pernyataan seperti ini, “Jangan mendengarkan musik ketika sedang bekerja atau
melakukan sesuatu”? saya setuju dengan pernyataan ini. Mengapa? Bukankah
masing-masing individu itu berbeda cara bekerjanya? Sebenarnya kegiatan ini
istilahnya adalah multitasking. Seorang
ahli neuroscientit kognitif, Daniel Levitin, mengatakan bahwa mengerjakan
sesuatu sambil mendengarkan musik justru membuat produktivitas terbagi karena
fokus kita terbagi antara kegiatan yang sedang kita kerjakan dengan kegiatan
mendengarkan musik tersebut. Ada juga yng mengatakan kegiatan multitasking
menghambat ingatan jangka pendek. Pernahkah Anda ketika ingin menyapu tetapi
Anda memutuskan untuk mengecek handphone dulu. Dan setelah bermain handphone
selesai malah tidak jadi menyapu karena lupa?
Well, saya tidak akan mengatakan bahwa Anda harus mem-banned
semua akun media sosial Anda. Sekarang, pikirkanlah lagi seberapa manfaat yang
Anda dapatkan dari kegiatan ber-media sosial. Apakah setara dengan seberapa jam
yang telah Anda luangkan untuk kegiatan ini? Apakah ini akan berdampak baik
pada Anda kedepannya? Think again.
Di bawah ini contoh-contoh cara yang dapat Anda gunakan
untuk mengurangi ketergantungan pada smartphone.
1.
Mulailah membaca
buku cetakan (print out).
Bukan berarti membaca buku elektronik atau e-book tidak bagus. Tapi disini
tujuannya adalah supaya Anda tidak memiliki kebiasaan memegang smartphone.
Memang e-book itu lebih praktis kalau
dibawa kemana-mana, tapi masalahnya adalah ketika kita sedang membaca e-book tiba-tiba ada notifikasi, entah
dari whatsapp, instagram, atau aplikasi lain. Itu sangat mengganggu perhatian
Anda terhadap apa yang sedang Anda baca. Membangun fokus itu tidak sesederhana
yang Anda kira. Butuh waktu beberapa menit untuk Anda membangun fokus. Mungkin
muncul pertanyaan begini, “Kan bisa
mobile data-nya dimatikan. Jadi kan gak ada notifikasi masuk lagi.”
Kembali pada penelitian di atas tadi. Hanya kehadiran saja dari sebuah
smartphone disekitar Anda, walaupun Anda sudah membangun fokus Anda, tetap saja
ada bagian kognitif di otak yang tersedia berkurang. Jadi, walaupun Anda
mematikan mobile data dari smartphone dan berharap tidak notifikasi masuk yang
mengganggu, tetap saja ada godaan (kalau Anda seorang ketergantungan
smartphone) untuk mengecek media sosial.
Kembali pada membaca buku cetakan, terdapat manfaat
lebih yang Anda dapatkan ketika membaca buku daripada e-book. Dari sebuah penelitian pada 2013 menyebutkan bahwa
ditemukan pada siswa kelas 10 (mungkin kelas ini yang diteliti) mendapat nilai
lebih baik secara signifikan pada tes pemahaman dalam membaca jika mereka
membaca pada sebuah kertas daripada pada sebuah layar. Penelitian ini bisa
jelasnya bisa Anda lihat di https://curiosity.com/topics/should-you-read-from-paper-or-a-screen-curiosity/ . Bisa di simpulkan bahwa pemahaman yang didapatkan
lebih baik ketika membaca buku.
2.
Pikirkan lagi
seberapa besar manfaatnya
Pikirkan
lebih jauh lagi apakah manfaat yang di dapat dari menggunakan smartphone
setimpal dengan waktu yang telah anda luangkan. Banyak dari masyarakat kita
rata-rata mengoperasikan handphone selama sekitar 5 jam perhari. Dari bangun
tidur hingga beranjak tidur. Waktu selama itu jelas berpengaruh sangat
signifikan terhadap kegiatan lain yang lebih penting. Misalnya, bisa digunakan
untuk mengembangkan bakat Anda, atau membaca-baca buku. Apakah diam, menundukan
kepala, ibu jari bergerak dari bawah keatas menggeser layar menyelesaikan
sebuah masalah? Saya pikir tidak.
3.
Sembunyikan
smartphone
Suruh teman
terdekat atau orang tua untuk menyembunyikan smartphone tanpa diketahui tempatnya
oleh Anda. Mungkin ide ini terdengar aneh. Tapi hal ini cukup efektif. Saya
pernah melakukannya sewaktu belajar masuk perguruan tinggi. Jadi saya meminta
tolong orang tua untuk menyembunyikan hp saya untuk sementara waktu. Dengan
begini, Anda tidak akan kepikiran bateri handphone tinggal berapa, perlu di-charge apa tidak, si ini sedang
melakukan apa, sedang di mana. Memang mengulik atau istilahnya stalking itu hal
yang cukup mengasikkan. Internet kan memang isinya penuh hiburan. Video kucing
di Instagram yang menggemaskan, video trending youtube, tapi hal-hal yang
sebenarnya tak cukup penting itu sebaiknya memang dihindari. Lebih baik
memperoleh kesenangan yang nyata daripada yang maya, bukan?
Note writer : Sungguh handphone sangat menyita banyak waktumu. Berapa banyak waktu yang kau luangkan untuk hal ini? Banyaklah merenung memikirkan hal-hal yang hebat. Out of the box. Bukankah ide-ide brilian para ilmuwan dahulu didapatkan ketika mereka banyak merenung memikirkan bagaimana alam ini bekerja. Seperti Newton yang sedang di bawah pohon apel memikirkan mengapa benda selalu jatuh kebawah sampai menemukan hukum gravitasinya. Einstein dalam film dokumenternya selalu bertanya-tanya "apa itu waktu?" dan kemudian teori relativitasnya dikemukakan olehnya di hanya umur pertengahan 20-an. Supaya tidak disebut seorang hypocrite, saya memang sering melakukannya. But, at least, from now, mulailah mencoba untuk menguranginya :)
Komentar
Posting Komentar